Minggu, 01 April 2012

Gurun Sahara Pernah Hijau


       Seorang perempuan bertubuh kecil dan dua anak dibaringkan di hamparan bunga saat meninggal 5.000 tahun lalu di lokasi yang saat ini menjadi Gurun Sahara nan tandus.
       Arkeolog National Geographic, Chris Stojanowski meneliti makam seorang perempuan dan anaknya di Sahara. Lengan kecil anak-anak itu masih menggandeng sang perempuan dalam pelukan abadi saat para peneliti menemukan tulang-belulang mereka di makam yang menjadi bukti adanya dua peradaban yang pernah ada di sana saat wilayah tersebut masih hijau. 
      Paul Sereno dari Universitas Chicago dan rekan-rekannya sedang mencari fosil dinosaurus di Niger, Afrika, saat mereka menemukan makam itu. “Bagian dari penemuan adalah menemukan hal-hal yang tidak pernah Anda duga”, katanya.
           Sekitar 200 makam manusia ditemukan selama penggalian di lokasi tersebut, pada 2005 hingga 2006. Didapatkan juga tulang-belulang hewan, ikan besar, dan buaya. “Kemana pun Anda menengok, Anda akan menemukan tulang-tulang hewan yang tidak hidup di gurun”, ujar Sereno. “Kita sedang berada di tempat yang dahulu hijau”.
             Kuburan itu tersibak oleh angin gurun yang panas. Lokasinya diduga merupakan bekas danau yang dahulu dihuni orang. Ia berada di wilayah yang disebut Gobero, tersembunyi di Gurun Tenere yang ganas, yang oleh bangsa pengembara Tuareg disebut sebagai “gurun di dalam gurun”. 
           Sisa-sisa manusia itu berasal dari dua populasi berbeda yang hidup di sana pada musim basah. Para peneliti menggunakan penanggalan radio karbon untuk menentukan kapan orang-orang tersebut hidup di sana. Mereka mendapati tulang termuda usianya sekitar 1.000 tahun sebelum pembangunan piramid di Mesir. 
      Adapun kelompok pertama yang tinggal di sana disebut bangsa Kiffian. Mereka berburu hewan dan ikan menggunakan tombak. Mereka hidup saat Sahara berada dalam kondisi paling basah, antara 10.000 dan 8.000 tahun lalu. Dikatakan para peneliti, warga Kiffian berpostur tinggi, kadang lebih dari 1,8 meter.
          Kelompok kedua adalah orang Tenerian yang hidup di wilayah itu antara 7.000 dan 4.500 tahun lalu. Mereka lebih kecil dan hidup dengan berburu, mencari ikan, dan memelihara ternak.
       Makam-makam mereka seringkali berisi perhiasan atau benda - benda ritual. Jenazah seorang gadis misalnya, berhias gelang yang diukir dari gigi kuda nil. Sementara seorang pria Tenerian dewasa dimakamkan dengan kepala di atas bejana tanah lempung, dan pria lain menggunakan tempurung kura-kura sebagai bantal.
       Sisa-sisa serbuk sari menunjukkan perempuan dan dua anak itu dimakamkan di atas hamparan bunga. “Pada awalnya sulit membayangkan dua kelompok yang berbeda memakamkan warganya di tempat yang sama”, ujar anggota tim Chris Stojanowski, seorang bioarkeolog dari Universitas Negeri Arizona.
   Stojanowski mengatakan, tulang paha orang-orang Kiffian menunjukkan mereka memiliki otot kaki yang kuat, yang memunculkan dugaan, mereka makan banyak protein dan memiliki gaya hidup aktif. “Mereka sepertinya sangat sehat. Sangat sulit tumbuh sebesar itu dengan otot kuat tanpa nutrisi yang baik”, paparnya.
       Di lain pihak, tulang pria Tenerian menunjukkan mereka kurang tegap dan mungkin hanya memburu ikan dan hewan yang lebih kecil dengan peralatan berburu yang lebih maju.
           Helene Jousse, seorang arkeolog dari Museum Sejarah Alam di Wina, Austria, melaporkan bahwa tulang hewan yang dijumpai di sana sejenis dengan tulang hewan-hewan yang saat ini hidup di Serengeti, Kenya, seperti gajah, jerapah, dan babi liar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar